Masyarakat Adat Sanggau dan Pemerintah Sepakati 16 Poin untuk Tolak Perpres PKH

SANGGAU – Sekitar 30 perwakilan masyarakat adat se-Kabupaten Sanggau kembali mendatangi DPRD Sanggau untuk mempertanyakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya. Kedatangan mereka bertujuan untuk menyuarakan keberatan terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang dinilai mengancam eksistensi masyarakat adat.

Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Ketua DPRD Sanggau, Hendrikus Hengki, serta dihadiri oleh jajaran pimpinan DPRD, Sekretaris Daerah Aswin Khatib, perwakilan Polres Sanggau, Camat, dan tokoh adat, disepakati 16 poin kesepakatan bersama. Kesepakatan ini menjadi landasan untuk menuntut keadilan bagi masyarakat adat yang lahannya terancam masuk dalam kawasan hutan.

Berikut adalah poin-poin utama dari kesepakatan tersebut Pertama, mendorong revisi terhadap pasal-pasal bermasalah dan meminta agar ketentuan penguasaan kembali (pasal 4) ditangguhkan sampai proses pengukuhan kawasan dilakukan secara iknlusif dan adil.

Kedua, menolak pendekatan militeristik, menuntut agar struktur Satgas memasukan unsur masyarakat adat, tokoh lokal, dan Pemerintah daerah, bukan dominasi TNI/Polri. Ketiga, menegakkan asal legalitas dan prosedur formal, pastikan pengukuhan kawasan hutan di daerah mengikuti tahapan Undang-undang kehutanan dan tidak menerapkan penyitaan sembarangan.

Keempat, percepatan pengakuan hutan adat, memfasilitasi pengajuan hutan adat dan hak ulayat agar masyarakat tidak dikriminalisasi terhadap pengelolaan tradisionalnya. Kelima, meminta kepada Pemda untuk melakukan pembebasan kawasan hutan yang secara faktual sudah dikuasi masyarakat secara turun temurun menjadi areal penggunaan lain (APL) atau ditetapkan sebagai hutan adat.

Keenam, mendorong Pemerintah memprioritaskan sertifikasi lahan masyarakat adat. Ketujuh, moratorium penertiban PKH meminta KLHK untuk menunda penertiban di Kabupaten Sanggau sampai ada kejelasan status kawasan, menuntut agar larangan masyarakat masuk ke lahan garapannya sendiri dicabut. Kedelapan, pemetaan partisipatif dilakukan inventarisasi dan pemetaan partisipatif desa perdesa dengan melibatkan masyarakat, tokoh adat, Pemerintah desa, BPN, akademisi dan Pemda, dan pemetaan ini dijadikan dasar usulan pelepasan kawasan atau penetapan hutan adat.

Kesembilan, keadilan transisi selama proses perubahan status, masyarakat tetap diperbolehkan mengelola lahannya tanpa kriminalisasi dan perusahaan pemegang izin kayu di kawasan hutan produksi tidak boleh mengganggu lahan masyarakat yang sudah lama digarap. Kesepuluh, penguatan ekonomi lokal desa-desa yang lahannya keluar dari kawasan hutan dikembangkan melalui program hutan produktif, desa wisata dan penguatan ekonomi lokal, dan Tembawang khas Sanggau didorong sebagai model Agroforestry modern yang diakui dalam kebijakan Pemerintah Pusat maupun daerah.

Kesebelas, khusus lahan perkebunan masyarakat adat yang masuk kawasan hutan tetap dikelola masyarakat secara mandiri. Kedua belas, merevisi SK Menteri LKH nomor 6630/MENLH-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021 tentang penetapan kawasan hutan di Kalbar. Ketiga belas, penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah harus melibatkan masyarakat.

Keempat belas, meminta Pemerintah Pusat mengeluarkan produk hukum secara komprehensif dengan mengeluarkan desa-desa yang ada di wilayah Kabupaten Sanggau dari kawasan hutan lindung. Kelima belas, meminta Pemerintah Pusat mengevaluasi pemberian izin kepada perusahaan yang tidak memberikan kontribusi untuk masyarakat dan daerah. Keenam belas, mendorong DPRD Kabupaten Sanggau untuk meneruskan rekomendasi ini ke Pemerintah Pusat.

Ketua DPRD Kabupaten Sanggau, Hendrikus Hengki berjanji akan menindaklanjuti kesepakatan bersama tersebut.

“Sesuai kesepakatan, kita tindaklanjuti ke Pemerintah Pusat. Harapan kami apa yang menjadi kesepakatan ini menjadi atensi serius Pemerintah Pusat,” pungkasnya. (Red)_

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *