SATU PENA – Sekawanbaru.com – Drama H Arlan, Walkot Prabumulih terus berlanjut. Kemendagri sampai Gerindra turun tangan. Derita dari menyakiti guru terus menghampirinya. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Jangan coba-coba mainkan nasib guru, wahai penguasa. Satu menteri sudah dicopot, ingat itu! Sejarah mencatat, tak ada kekuasaan yang kebal dari murka rakyat ketika mereka menyentuh urusan pendidikan. Guru itu ibarat lilin, terbakar demi menerangi murid. Tapi coba bayangkan, lilin yang sedang menyala malah ditiup angin oleh Walikota sendiri. Itulah tragedi Prabumulih yang kini jadi bahan ketawa pahit di seluruh negeri.
Kisah ini bermula dari Kepala Sekolah SMPN 1 Prabumulih, Roni Ardiansyah, yang viral gara-gara video perpisahan penuh air mata. Katanya dicopot setelah menegur seorang murid. Murid itu bukan murid sembarangan, tapi konon anak Wali Kota. Ah, betapa malangnya guru di negeri ini, menegur anak pejabat sama dengan menandatangani surat pindah sendiri.
H. Arlan, sang Walikota, tentu tak mau dicap arogan. Ia buru-buru membantah, “Bukan karena anak saya.” Namun hukum psikologi publik bekerja terbalik, semakin keras bantahan, semakin keras pula kecurigaan. Sama seperti orang bilang, “Saya tidak marah,” padahal wajah sudah merah padam seperti kepiting rebus.
Kemendagri pun tak tinggal diam. Inspektorat Jenderal memanggil Wali Kota, Kepala Sekolah, dan pejabat lain untuk klarifikasi. Dalam bahasa birokrasi, itu disebut “pemeriksaan.” Dalam bahasa rakyat, itu artinya, “Kekuasaan lokal sudah kelewat batas.” Bahkan Gerindra, partai yang mengusung Arlan, ikut menegur. Ketua Gerindra Sumsel, Kartika Sandra Desi, langsung menelepon, memberi sanksi moral, jangan ulangi lagi! Nah, di titik ini, sang Walikota terjebak dalam lingkaran setan pernyataan kontraproduktif.
Pertama, ia bilang mutasi itu wajar. Kedua, ia minta maaf karena salah komunikasi. Ketiga, ia bantah ada intervensi, tapi tetap akui sudah ditegur partai. Ini ibarat orang bilang, “Saya tidak lapar,” sambil menyantap dua piring nasi Padang. Publik dibuat geleng kepala. Kalau memang mutasi biasa, kenapa harus sampai dipanggil Kemendagri dan ditegur Gerindra?
Filsafat guru mengajarkan, kebenaran lahir dari teguran. Teguran guru adalah tamparan kasih sayang. Tapi dalam kasus ini, teguran guru justru berbuah tamparan politik. Seorang kepala sekolah yang menegakkan disiplin, mendadak jadi martir birokrasi. Ia menangis, murid-murid menangis, bahkan netizen ikut menangis sambil membuat meme.
Secara psikologi, ini gejala klasik. Penguasa yang tersinggung oleh hal kecil akan merespons berlebihan demi menjaga wibawa. Padahal, justru di situlah wibawa runtuh. Arogansi ibarat cermin retak, semakin digenggam kuat, semakin melukai tangan sendiri.
Kini publik menunggu hasil pemeriksaan Kemendagri. Apakah Arlan akan diberi sanksi administratif? Atau hanya sekadar peringatan yang hilang bersama angin politik? Tak ada yang tahu. Tapi yang jelas, masyarakat sudah belajar, di negeri ini, menegur anak pejabat lebih berisiko dari menegur setan di malam Jumat.
Maka sekali lagi, wahai para penguasa, jangan main-main dengan guru. Mereka adalah benteng terakhir akal sehat bangsa. Kalau benteng itu kau robohkan demi membela anak sendiri, jangan salahkan kalau sejarah menjatuhkanmu. Satu menteri sudah tumbang karena pendidikan, masa Wali Kota mau coba-coba juga?
Penguasa harus ingat, jabatan hanyalah titipan sementara. Sementara guru adalah penopang peradaban yang abadi. Meremehkan atau mengorbankan mereka demi gengsi pribadi sama saja menggali kubur politik sendiri. Sebab, doa guru yang terzalimi lebih tajam dari seribu pedang dan lebih keras dari palu hukum mana pun.
camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar