Guru Besar Hukum Soroti 5 Pasal Kontroversial RUU Perampasan Aset

Jakarta – Sekawanbaru.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang akan segera disahkan DPR mendapat sorotan luas. Meski digadang-gadang sebagai senjata ampuh negara melawan korupsi dan kejahatan luar biasa, sejumlah pasal dinilai berpotensi disalahgunakan.

Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, menilai ada lima pasal yang rawan multitafsir dan bisa menimbulkan ketidakadilan. “RUU ini punya tujuan mulia, tetapi kalau tidak diperbaiki justru hukum akan lebih menakutkan daripada melindungi,” ujarnya, Selasa (16/9).

Ia mencontohkan, Pasal 2 dan Pasal 3 yang memungkinkan perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana atau meski proses hukum masih berjalan. Menurutnya, hal ini menggeser asas praduga tak bersalah dan menimbulkan risiko masyarakat dihukum dua kali.

Sementara Pasal 5 ayat (2) huruf a dinilai terlalu subjektif karena memakai istilah “tidak seimbang” antara harta dan penghasilan. “Seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai karena dianggap hartanya lebih besar dari penghasilan hariannya,” kata Harris.

Adapun Pasal 6 ayat (1) yang menetapkan batas minimal Rp100 juta juga disebut rawan salah sasaran. Buruh yang membeli rumah sederhana bisa terjerat, sementara pelaku kejahatan bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah batas nominal tersebut.

Selain itu, Pasal 7 ayat (1) berpotensi merugikan ahli waris dan pihak ketiga beritikad baik karena aset tetap bisa dirampas meski tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. “Anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya hanya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana,” ujarnya.

Harris juga menyoroti ketentuan pembuktian terbalik (reverse burden of proof). Menurutnya, rakyat yang tidak paham hukum bisa kehilangan aset hanya karena tidak mampu menunjukkan dokumen formal. Ia menegaskan, beban pembuktian tetap harus berada di pihak aparat penegak hukum.

Untuk itu, ia merekomendasikan sejumlah perbaikan, di antaranya memperjelas definisi frasa “tidak seimbang” dengan ukuran objektif, memberikan perlindungan pada ahli waris dan pihak ketiga beritikad baik, serta memastikan putusan pengadilan independen menjadi syarat mutlak perampasan.

“Proses perampasan harus transparan, akuntabel, terbuka, dan diawasi publik. Negara juga wajib menyediakan bantuan hukum gratis bagi rakyat kecil yang terdampak,” tegasnya.

Ia menambahkan, sosialisasi dan literasi hukum juga penting dilakukan agar masyarakat memahami hak-haknya. “Ibarat pedang bermata dua, rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi, sedangkan orang kaya bisa melindungi aset dengan pengacara dan dokumen,” kata Harris.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *